Oleh: Candra Malik
Rasa bersalah lebih penting daripada kesalahan itu sendiri. Pun demikian rasa berdosa lebih penting daripada dosa itu sendiri. Rasa bersalah dan berdosa ini memberi kesadaran bahwa manusia adalah tempat salah dan dosa. Kedua rasa ini pulalah yang menjadikan kita tetap sewajarnya manusia. Justru tidak manusiawi jika kita mulai merasa benar dan suci, bahkan paling benar dan suci dari liyan. Padahal, Islam mengajarkan fastabiqu ‘l-khairat dan thaharah.
Fastabiqu ‘l-khairat adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Bermula dari menjadi baik dan berakhir sebagai yang terbaik. Sepanjang perjalanan kebaikan itu, kita terus berusaha menjadi lebih baik. Hari ini harus lebih baik daripada kemarin dan besok harus lebih baik daripada hari ini. Tak ada sangkut paut dengan merasa diri benar, bahkan lebih benar dan paling benar dibanding orang lain. Jika agama adalah kebenaran, maka berhentilah saling menyalahkan.
Thaharah adalah bersuci. Bukan untuk menjadi suci, tapi untuk membebaskan diri dari hal-hal najis. Jika pun tujuannya untuk menjadi suci; baik itu raga atau jiwa; thaharah tidak lantas menjadikan kita suci sepanjang masa. Bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim saja membatalkan wudhu, melepaskan angin dari perut melalui anus saja juga membatalkan wudhu, bagaimana bisa kita menahan diri untuk tetap suci dan tak perlu bersuci lagi seumur hidup?
Rasa bersalah dan berdosa membawa kita pada mawas diri. Menyadari betapa fakir dan dhaif kita berhadapan dengan lupa dan lalai. Belum lagi berhadapan dengan orang lain dan dunia luar, kita bahkan sering gagal mengatasi diri kita sendiri. Gagal membedakan mana yang pikiran dan mana pula yang perasaan. Gagal mengenal mana yang keinginan dan mana yang kebutuhan. Gagal sejak awal dalam meniatkan beribadah: demi Allah atau demi hal-hal lain selainNya?
Jika rasa bersalah dan berdosa itu kita alami setelah melakukan perbuatan salah dan dosa, itulah penyesalan. Jika kita peroleh rasa bersalah dan berdosa sebelum melakukan perbuatan salah dan dosa, itulah pencerahan. Jika rasa bersalah dan berdosa itu muncul ketika melakukan perbuatan salah dan dosa — dan kita tetap melakukannya — itulah penyangkalan. Tak ada yang lebih sakit daripada menyangkal kebenaran. Hati bergetar tatkala merasakan yang benar.
Pencerahan menguatkan iman dan melemahkan ingkar. Sebaliknya, tentu saja penyangkalan menguatkan ingkar dan melemahkan iman. Sedangkan penyesalan lebih pada menyadarkan manusia pada kelemahan diri. Sadar betapa sedikit imannya namun terlalu banyak dosanya. Penyesalan ini yang membimbing kita pada tobat. Tak lagi menunda waktu untuk bersujud dan berurai airmata istghfar. Berikrar untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
Penyesalan yang disertai tobat dan ikrar inilah yang disebut insyaf. Menyadari kekhilafan dan mengalami keinsyafan adalah babak sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika pertobatan pada Allah diawali dengan pengakuan atas dosa-dosa, disertai permohonan ampun pada Allah, dan diakhiri ikrar tak mengulangi perbuatan dosa; kita pun perlu mengakui kesalahan pada orang lain, meminta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan salah itu.
Salah satu di antara sekian tanda-tanda orang yang telah Allah ampuni dosa-dosanya adalah ia ringan meminta maaf dan tidak keberatan memaafkan. Beda antara orang khilaf dan orang insyaf juga mudah dikenali. Orang khilaf itu besar kepala, sedangkan orang insyaf itu lapang dada. Orang khilaf berusaha melakukan pembenaran meski dengan menolak kebenaran. Orang insyaf itu menerima kebenaran dan berhenti dari kekonyolan melakukan pembenaran.
Rasa bersalah lebih penting daripada kesalahan itu sendiri. Pun demikian rasa berdosa lebih penting daripada dosa itu sendiri. Lihatlah sekeliling, betapa mudah kita menemukan orang yang melakukan kesalahan tanpa perasaan bersalah samasekali. Berbuat dosa tanpa perasaan berdosa samasekali. Bukan cuma itu. Bahkan makin banyak pula yang berbuat salah namun justru menyalahkan orang lain dan berbuat dosa namun malah menghakimi liyan.
Namun, tidaklah bijak jika kita melihat terlampau jauh ke samudera sampai-sampai kehilangan keindahan pantai di mana kita berpijak. Sejauh-jauh ombak bergulung-gelombang pasang toh surutnya ke pantai juga. Sebesar-besar kesalahan seseorang, tak lepas dari diri kita sebagai bagian tak terpisahkan dari lingkungan. Seperti halnya kesalehan sosial dibangun oleh kesalehan personal, maka kesalahan sosial pun merupakan kesalahan personal.
Tobat sosial dalam skala lokal, regional, dan nasional juga sangat baik untuk membangkitkan kesadaran bersama. Memang, Islam tidak mengenal dosa tanggungan, yaitu seseorang harus menanggung dosa orang lain. Namun, apa jadinya jika sekelompok orang melakukan perbuatan salah dan dosa secara bersama? Alangkah celakanya suatu lingkungan yang menanggung dosa bersama? Padahal, Allah selalu membuka Pintu AmpunanNya.
Mendekatkan diri pada Allah sangat mudah. Belum lagi kita mendekat, Dia (sudah) lebih dekat daripada urat leher kita, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Qaaf: 16. Sebaliknya, menjauhkan diri dari Allah sangatlah susah. Siapa pula yang bisa keluar dari Lingkaran Kemahaagungan Allah? Semut saja bisa menemukan lubang persembunyian kita, apalagi Allah. Tidak ada yang luput dari pandangan Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Sejak awal, Allah telah menetapkan atas DiriNya Kasih Sayang. Bahkan, Rahmat Allah melampaui KemurkaanNya. Susah membuat Allah marah. Dan, sebaliknya: mudah memohon rahmat kepada Allah. Sebanyak-banyak dosa tak lebih agung daripada AmpunanNya. Siapa pun yang menyesali perbuatan salah dan dosa, niscaya Allah mengampuni. Sebaik-baik rahmat adalah ampunan dan sebaik-baik ampunan adalah terbebas dari api neraka. Ya Allah, ampunilah kami. []
Candra Malik adalah praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.